Memulai Usaha

Mulai dengan Pertanyaan

Sebelum memulai usaha, perhatikan situasi lingkungan secara cermat. Lakukan pengamatan dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 

  1. Apakah ada peluang usaha seperti yang diinginkan?
  2. Apakah lika-liku usaha yang akan dilakukan telah diketahui benar, baik cara memulainya, membuat, menjual, menyimpan, sampai cara mendapatkan modal usaha?
  3. Adakah pesaing (pelaku usaha pada jenis usaha yang sama) dan calon pesaing di lapangan usaha itu, dan sejauh mana para pesaing itu telah dikenali?
  4. Seberapa besarkah pasar (pembeli atau pengguna usaha kita) yang hendak digarap?
  5. Bila usaha yang akan dikerjakan memerlukan pemasok (supplier), sudahkah diketahui benar siapa yang bakal menjadi pemasok, dan apakah ada pemasok potensial lainnya?
  6. Bila usaha itu berupa barang, sudahkah diketahui teknik pembuatan barang yang dimaksud?
  7. Jika memerlukan modal dalam bentuk dana, seberapa banyak modal sudah di tangan atau bagaimana pula bila memerlukan pinjaman untuk penambahan modal?
  8. Bagaimana cara mendapatkan tenaga kerja yang diperlukan?
  9. Apakah sudah dapat ditemukan dan ditentukan lokasi usahanya?
  10. Apakah sudah dimengerti seluk beluk peralatan yang diperlukan?

Daftar pertanyaan di atas – yang dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan dan sifat usaha yang diinginkan – sangat membantu identifikasi peluang usaha. Inti dari daftar pertanyaan itu adalah bahwa situasi lingkungan usaha harus diperhatikan dengan seksama sebelum memutuskan jenis usaha apa yang akan dikerjakan. Setelah diketahui situasi lingkungan melalui daftar pertanyaan di atas, selanjutnya dapat dilakukan analisa terhadap kekuatan dan sekaligus kelemahan diri sendiri dengan melakukan identifikasi terhadap apa yang diketahui, dikuasai, dan dimiliki sebagai situasi internal pendukung pada saat akan dilakukan pengambilan keputusan dan pemilihan bidang usaha yang diinginkan. Tentu saja usaha (produk/jasa) yang akan dipilih ada dalam ranah usaha yang halal dan thoyib. Ingat selalu bisnis yang akan kita jalankan adalah bisnis yang penuh ‘berkat’ dan berkah.

Analisis Peluang Usaha

Agar diperoleh hasil pengamatan situasi internal dan eksternal secara tepat, kita dapat membuat matriks analisis kualitatif peluang usaha. Matriks ini dapat dijadikan sebagai media dalam melakukan analisa hasil pengamatan lingkungan internal dan eksternal. Pertanyaannya kemudian adalah, adakah kekuatan atau kelemahan di antara yang disebutkan dalam matriks tersebut. Jika ada, lakukanlah suatu keputusan dengan mempergunakan kotak atau ruangan yang mempertemukan antara kekuatan dan kelemahan sebagai bagian internal dengan peluang usaha yang mungkin dapat ditangkap sebagai bagian dari eksternal lingkungan.

 

Matriks tersebut pada dasarnya merupakan Matriks SWOT kualitatif sederhana yang dapat digunakan sebagai media untuk menentukan pilihan-pilihan usaha yang dinilai paling tepat, sekaligus menghindari pilihan usaha yang salah.

 

Intinya, kita identifikasi apa saja kekuatan dan kelemahan kita yang signifikan. Kekuatan (S-strength) adalah semua sumberdaya yang melekat pada kita yang mendukung keberhasilan usaha yang akan kita lakukan, seperti sudah terbiasa kerja keras, nama baik, mandiri, hemat, memiliki kemampuan yang memadai sesuai jenis usaha yang akan dirintis, dll. Sebaliknya kelemahan (W-weakness) adalah semua sumberdaya kita yang dapat menghambat keberhasilan usaha jika tidak kita hilangkan, seperti tidak punya perencanaan, pendidikan tidak mendukung, tanpa pembukuan tertib, tanpa analisis pasar, modal lemah dll. 

 

Demikian juga dengan peluang (O-opportunity) dan tantangan (T-treath). Peluang adalah semua peluang bisnis yang ada di depan mata, baik yang pasarnya sudah ada maupun pasar belum ada, tetapi kita yakin dapat membuat pasar sendiri. Contohnya, rest area di pinggir jalan tol, bisnis event organizer untuk acara seminar, training, workshop dll, warung nasi sunda di pinggir sawah, pakaian muslimah (jilbab, kerudung) bagi komunitas pengajian, bisnis foto copy di dekat kampus, dll. Sebaliknya, tantangan adalah situasi dan kondisi yang menghambat atau tidak mendukung keberhasilan usaha. Misalnya, banyaknya ‘pesaing’ di bidang usaha sejenis, pasokan bahan baku yang sulit, dll. 

 

Cara membacanya secara sederhana adalah sebagai berikut :  

 

  • Jika dominan pada pertemuan S-O : Gunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada secara fokus. 
  • Jika dominan pada pertemuan S-T : Mobilisasi kekuatan yang dimiliki untuk menepis tantangan yang ada.
  • Jika dominan pada pertemuan W-O: Tentukan pilihan terhadap peluang yang benarbenar dikuasai untuk meminimalisasi kelemahan yang dimiliki.
  • Jika dominan pada pertemuan W-T: Jika pilihan sulit, tahan diri sambil mencari kembali peluang lain yang lebih memungkinkan.

Sekali lagi, tentu saja usaha (produk/jasa) yang akan dipilih ada dalam ranah usaha yang halal dan thoyib. Ingat selalu bisnis yang akan kita jalankan adalah bisnis yang penuh ‘berkat’ dan berkah.

Belajar dari Yaslinur "Al Amin Group"

Menjalankan kegiatan bisnis tidak pernah sepi dari tantangan dan hambatan. Termasuk hari ini. Baik menyangkut masalah permodalan, sumberdaya manusia, pemasaran maupun perijinan. Tapi bagi pebisnis muslim kiranya tantangan terbesar adalah bagaimana menjalankan bisnis dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam di tengah-tengah suasana bisnis dalam sistem kapitalistik yang cenderung menghalalkan segala cara. Tentu saja jalan belum tertutup sama sekali. Bahkan masih cukup banyak peluang terbuka bagi pebisnis muslim yang mencoba untuk sukses tanpa harus melanggar syariah. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Al Insyirah : 6).

 

Simak kasus berikut. Yaslinur, pria kelahiran 1968, melalui keuletannya dalam berbisnis, akhirnya sampai sekarang berhasil membangun 5 outlet swalayan, toko buku dan busana muslim yang tersebar di Bogor di bawah bendera kelompok usaha “Al Amin”. Lembaga yang sejak mula telah diazamkan sebagai lembaga usaha Islami ini juga dikenal konsisten dengan prinsipprinsip bisnis sesuai syariah. Konsistensi ini dikukuhkan dalam motonya : ‘Mitra Menuju Kehidupan Islami’.

 

Sejak 1990, ia sudah membangun bisnis dan sempat mengalami jatuh bangun. ” Tetapi, dimana ada kemauan di situ ada jalan dan di balik setiap kesulitan pasti selalu ada kemudahan,” tuturnya. Tekadnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Bogor membawa konsekuensi harus berpisah dengan orang tuanya. Sembari kuliah (1990), ia berikhtiar untuk hidup mandiri sepenuhnya. Kegiatan kuliahnya yang super ketat ditingkahi aktivitasnya sebagai pengurus organisasi mahasiswa Islam dan bahkan menjadi ‘marbot’ masjid kampus membuatnya berpikir keras untuk menemukan konsep bisnis yang tidak mengganggu perkuliahannya namun sesuai dengan koridor syariah.

 

Dimulai dengan jualan kaos kaki dengan cara menitipjualkan di toko milik saudara. Beralih untuk mencoba ‘catering’ beras yang idenya bermula dari kepanitiaan bakti sosial Ramadhan. Hingga jadi penyalur buku IQRO di masjid kampus. Semua itu dijalaninya sembari terus mencari peluang terbaik. Meningkatnya kebutuhan akan buku-buku Islami, busana muslim beserta segala asesorisnya sejalan dengan bertambahnya ghirah keislaman mahasiswa, memberi peluang bisnis yang dicarinya selama ini.

 

Di tengah kesibukannya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di kawasan Bandung, mulailah dipersiapkan segala sesuatunya. Dipilihnya model syirkah mudhorobah. Lalu, sambil dilajo Bogor-Bandung, disusunlah proposal usaha. Berhasilkah? Ternyata, tidak. Dari semua kenalan yang dikunjunginya, tidak ada seorang pun yang bersedia menjadi calon investor (shohibul mal). “Belum melihat hasilnya,” begitu rata-rata alasannya.

 

Belajar dari berbagai pengalaman, akhirnya, setahun kemudian (1991) dipancangkannya tekad untuk membuka resmi sebuah toko kecil berukuran 4 x 3 meter persegi. Dipilihnya lokasi dekat kampus tempatnya kuliah. Yaslinur memilih nama Al Amin, sebagai doa bagi keberhasilan usaha ini. Al Amin adalah juga sebuah nama yang mengingatkan bahwa usaha ini bermula atas dasar kepercayaan. Mengingat modalnya selain berasal dari milik sendiri, yaitu tabungan hasil usaha sebelumnya sebesar Rp 467.850,- selebihnya adalah pinjaman dari kawan-kawannya sebesar Rp 1.818.650,-. Kepercayaan yang sekaligus menyiratkan keprihatinan. Sebab, “Banyak yang belum mengerti konsep syirkah mudhorobah”, tutur ayah berputra dua orang ini ketika menjelaskan mengapa modal terbesarnya adalah pinjaman.

 

Dengan dana yang tak bisa dibilang banyak, Yaslinur terus berbenah diri. Digaetnya penerbit buku untuk bekerjasama dengan sistem konsinyasi (titip jual). Media Dakwah, Gema Insani Press (GIP) dan Al Kautsar tercatat sebagai penerbit buku-buku Islam yang paling awal menyambut ajakannya. Untuk perlengkapan busana muslim, digalangnya kerjasama dengan sebuah perusahaan konveksi busana muslim. Untuk pasokan alat tulis kantor, seorang kawan bersedia membantunya. Pendek kata, Yaslinur terus berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk meningkatkan laba dan skala usahanya. Ia ingin memposisikan nama Al Amin di mata masyarakat sebagai sentra koleksi Islami terbesar di Bogor, Al Amin Islamic Collection. “Berani mencoba adalah setengah dari keberhasilan”, begitu filosofi yang memacu semangatnya.

 

Tahun pertama usahanya, ia mencoba menerapkan strategi meningkatkan laba usaha sembari melakukan efisiensi di sana-sini. Al Amin berusaha mencari sumber pasokan barang yang lebih murah, misalnya menjajagi secara langsung ke produsen. Memotong rantai pemasaran yang panjang. Bila tidak bisa, maka dilakukanlah cara kedua, yaitu membeli dengan skala yang lebih besar pada pemasok lama. Dengan cara ini paling tidak akan menekan harga beli lebih murah lagi.

 

Setelah efisiensi dirasakan cukup berhasil, tepat pada tahun kedua usahanya, Yaslinur mulai melangkah keluar. Kini saatnya mengembangkan diri. Dengan acuan model Al Amin yang sudah ada, dibukalah secara bertahap tiga outlet baru, yaitu Al Amin Kalibata dan Fatmawati di Jakarta Selatan, dan Al Amin Cimahi di Bandung. Namun, sambutan masyarakat ternyata tak seramai di kota asalnya. Di ketiga tempat ini rata-rata sepi. Pada tahun ketiga usahanya berjalan, Yaslinur akhirnya memutuskan untuk kembali berkonsentrasi di pasar Bogor. Ditutupnya ketiga outlet tadi. Semua dijadikan pelajaran yang sangat berharga. Ia merasa harus bangkit lagi. Sebab, “Pasar Bogor masih sangat kondusif dan belum jenuh sama sekali. Apalagi, kondisi masyarakatnya yang relatif haus akan ilmu-ilmu agama semakin membutuhkan ‘mitra menuju kehidupan Islami’. Sesuatu yang menjadi pegangan Al Amin selama ini,” ujarnya mantap.

 

Kepercayaan masyarakat yang terus bertambah sangat membesarkan hati. Akhirnya, di penghujung tahun 1995, Yaslinur memantapkan tekad untuk mendirikan lagi outlet Al Amin Swalayan di Babakan Raya Bogor. “Alhamdulillah, inilah buah bila kita konsisten terhadap prinsip dan syariat Islam” Yaslinur tak putus terus bersyukur.

 

Pertemuannya dengan seorang pengusaha besar Bogor yang memiliki visi keumatan yang sama semakin menambah keyakinannya dalam mengibarkan bendera Al Amin. Apalagi setelah pengusaha tersebut mengajaknya bekerjasama melalui mekanisme syirkah inan. Baginya, semua jalan yang halal lagi menguntungkan tidak ada salahnya untuk dicoba. Sebab, “Al Amin harus punya inisiatif untuk berubah semakin maju. Bukan semata-mata terseret hanya mengikuti kehendak perubahan.” Kini, Yaslinur telah memiliki 5 outlet swalayan, toko buku dan busana muslim yang tersebar di Bogor.

 

 

Penulis: Karebet Widjajakusuma 

Dikutip dan dikembangkan dari buku Menggagas Bisnis Islami, M. Ismail Yusanto & M. Karebet Widjajakusuma, Gema Insani