Peneliti Berka Strategika
Pergantian kursi Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa bukan sekadar rotasi jabatan politik, melainkan sebuah ujian besar bagi kredibilitas fiskal Indonesia. Publik, pelaku usaha, hingga investor global tentu menunggu arah baru yang akan ditempuh. Apakah APBN tetap dijaga ketat sebagai jangkar stabilitas, atau justru lebih longgar demi ambisi pertumbuhan?
Dr. M. Rizal Taufikurrahman, Ekonom INDEF menekankan bahwa kepercayaan fiskal tidak bisa dibangun lewat retorika. Kredibilitas hanya akan bertahan bila pemerintah konsisten pada tiga hal mendasar: kepastian aturan, efektivitas anggaran, dan keberlanjutan pembiayaan. Tanpa itu, transisi kepemimpinan di Kemenkeu bisa menimbulkan keraguan, baik dari publik domestik maupun pasar internasional (CNBC Indonesia, 10 September 2025).
Dilema Investor, Dunia Usaha, dan Publik
Bagi investor global, disiplin fiskal adalah parameter utama. Defisit yang melebar tanpa arah akan dibaca sebagai sinyal risiko, menaikkan premi utang Indonesia. Sebaliknya, dunia usaha dalam negeri berharap fiskal tidak hanya berfungsi sebagai penjaga stabilitas, melainkan juga mesin akselerasi pertumbuhan. Sementara itu, masyarakat menengah bawah menuntut agar kebijakan anggaran benar-benar menghadirkan keadilan melalui penguatan daya beli. Dengan demikian, pertumbuhan tidak sekadar berhenti pada angka 5,12% (YoY), melainkan lebih inklusif dan berkualitas.
Jalan Strategis ke Depan
Ada tiga poros kebijakan yang harus menjadi pegangan Menkeu baru. Pertama, diversifikasi penerimaan negara. Penerimaan negara bukan hanya soal pajak, melainkan juga optimalisasi dividen BUMN dengan profesionalisme dan integritas dalam pengelolaan kepemilikan umum, pengelolaan aset publik secara transparan, serta perluasan basis PNBP. Basis pendapatan yang lebih beragam akan memperkuat ruang fiskal sekaligus menjaga kredibilitas APBN.
Kedua, fiskal sebagai katalis sektor riil dan ekonomi hijau. Investasi senilai Rp358 triliun di kawasan industri hijau harus diterjemahkan dalam kebijakannya yang menyengsarakan fiskal yang proaktif. Insentif tepat sasaran, skema pembiayaan inovatif, dan dukungan bagi energi bersih maupun industri ramah lingkungan akan membuka peluang kerja baru sekaligus menyiapkan fondasi ekonomi berkelanjutan.
Ketiga, disiplin tata kelola utang dan manajemen risiko. Kredibilitas fiskal hanya terjaga bila defisit terkendali, idealnya di bawah 3% PDB. Prinsip kehati-hatian, seperti Pay-As-You-Go dan kalender penerbitan utang yang transparan, menjadi sinyal positif bagi pasar. Lebih jauh, strategi utang harus adaptif: memperpanjang tenor, memanfaatkan instrumen lindung nilai, hingga menyiapkan buffer fiskal untuk meredam gejolak global.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pergantian Menkeu selalu memunculkan pertanyaan: apakah kebijakan akan berubah drastis atau tetap berlanjut dengan wajah baru? Tantangan terbesar bukan sekadar menjaga angka dalam APBN tetap aman, melainkan memastikan setiap rupiah anggaran benar-benar memberikan nilai tambah bagi rakyat.
Jika kepemimpinan baru mampu menjaga disiplin fiskal sekaligus membuka ruang bagi pertumbuhan yang lebih berkualitas, maka kepercayaan publik, dunia usaha, dan pasar global akan tetap terjaga. Pada titik inilah, transisi Menkeu bukan hanya sekadar pergantian pejabat, melainkan momentum untuk menguji konsistensi Indonesia dalam merawat kredibilitas fiskal sekaligus memperkuat arah pembangunan jangka panjang
Bagikan:
Dr. Erwin Permana adalah peneliti di Berka Strategika. Keahlian yang dimiliki yaitu di bidang ekonomi dan kebijakan publik