[Policy Commentary] Insiden Radioaktif Pada Ekspor Pangan: Pembelajaran Integratif Tata Kelola Industri dan Lingkungan

Studi Kasus: Kontaminasi Radioaktif sebagai Peringatan Sistemik

Penulis

Roni Nugraha1,2

1Peneliti Berka Strategika
2Ketua Departemen Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University

Kasus penolakan ekspor udang Indonesia oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat akibat temuan radionuklida Cesium-137 (Cs−137) di kawasan industri Cikande, Banten, serta temuan serupa pada produk ekspor cengkeh di Surabaya1 menunjukkan potensi dampak ekonomi yang melemahkan keberlanjutan industri dan daya saing produk nasional.

Kebocoran Cesium-137 (Cs-137) di industri logam diduga terjadi akibat limbah industri yang mengandung radioaktif masuk secara tidak terdeteksi ke rantai pasok besi tua (scrap metal). Meskipun prosedur pengawasan telah diterapkan, celahan implementasi sistem dalam proses penyaringan memungkinkan material terkontaminasi ini ikut dilebur2 dan menyebar sebagai debu serta residu radioaktif ke lingkungan sekitar, dengan dampak berantai pada sistem pangan.

Atas insiden ini, rantai nilai industri perikanan mengalami kerugian signifikan. Harga udang tercatat turun hingga 35% di sejumlah daerah, sementara penyerapan hasil tambak menurun sekitar 30–35% sejak PT Bahari Makmur Sejati (BMS) masuk dalam daftar merah FDA3.

Lebih lanjut, penerapan aturan baru import certification oleh FDA mulai 31 Oktober 2025 menimbulkan kekhawatiran bagi industri Indonesia. Import Alert #99-52 diberlakukan secara khusus untuk produk udang dan rempah yang berasal dari Pulau Jawa serta Provinsi Lampung di Sumatera, yang merupakan dua daerah penghasil udang utama di Indonesia4.

Kasus kontaminasi Cs-137 di Kawasan Industri Cikande menjadi sorotan, dengan sekitar 4.000 pekerja terdampak langsung dan potensi meluas hingga 1 juta pekerja jika regulasi tersebut diberlakukan tanpa hasil negosiasi yang jelas. Selain ancaman kehilangan akses pasar ekspor ke AS (63,7%), terdapat risiko lanjutan dari negara mitra utama lain seperti Jepang dan Tiongkok yang dapat memberlakukan kebijakan serupa5.

Pembelajaran Kebijakan dari Kasus Paparan Radioaktif pada Ekspor Pangan

Kasus paparan radioaktif pada ekspor pangan menjadi refleksi atas keterkaitan erat antara pengelolaan industri, lingkungan, dan keamanan pangan. Meskipun bersifat terbatas, dampaknya menunjukkan bagaimana satu titik gangguan di hulu dapat memengaruhi kepercayaan pasar dan rantai nilai di hilir.

Peristiwa tersebut menegaskan pentingnya policy learning lintas sektor bahwa sistem yang telah berjalan baik sekalipun perlu terus diperbarui secara responsif terhadap dinamika risiko baru. Pendekatan kehati-hatian (precautionary principle) memastikan setiap subsistem tata kelola mampu mengenali dan merespons titik rentan pengawasan sejak dini. Pendekatan ini memastikan sistem tidak hanya menunggu krisis terjadi, tetapi secara aktif mencegah risiko sistemik di masa depan.

Pembelajaran kebijakan ini menekankan penguatan koordinasi lintas sektor yang terimplementasi secara operasional dalam tiga ranah utama: pengawasan hulu, pemantauan lingkungan, dan akuntabilitas limbah industri.

Tiga Arah Penguatan Kebijakan: Menutup Celah Kecil, Mencegah Risiko Sistemik

Penguatan kebijakan karenanya diarahkan pada peningkatan ketahanan sistem terhadap risiko anomali lintas sektor.

  1. Validasi Ketat pada Material Berisiko Impor

    Fokus kebijakan bukan memperluas pemeriksaan, melainkan menajamkan pengawasan pada jalur masuk berisiko tinggi. Bea Cukai dan Kementerian Perdagangan perlu memperkuat sistem penandaan risiko (risk flagging) agar komoditas berpotensi kontaminan dapat segera ditahan dan diperiksa.

  2. Pemantauan Lingkungan Terpadu di Zona Risiko

    Kasus radioaktif yang langka sekalipun dapat mengganggu kepercayaan pada produk pangan. Karena itu, pengawasan perlu menjembatani industri dan sektor pangan melalui identifikasi zona rawan. Pemantauan lingkungan diarahkan untuk mendeteksi kontaminan spesifik, bukan sekadar mengikuti SOP rutin.

  3. Akuntabilitas Penuh atas Material Berbahaya

    Kelemahan utama ada pada rantai pembuangan limbah industri berizin. Kebijakan perlu menegaskan tanggung jawab penuh produsen melalui mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR) dan sistem pelacakan digital limbah B3/radioaktif. Dengan begitu, setiap residu dapat ditelusuri hingga tahap akhir, memastikan tidak ada limbah berbahaya yang kembali ke rantai industri secara ilegal.

Notes

1https://www.cnnindonesia.com/nasional/20251004092922-20-1280855/kasus-cesium-137-guncang-ri-ditemukan-di-cikande-dan-surabaya
2https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250930120754-20-1279217/fakta-fakta-pencemaran-radioaktif-cs-137-di-cikande-serang
3https://hijau.bisnis.com/read/20251003/651/1917333/efek-kontaminasi-radioaktif-cesium-137-tambak-udang-rugi-signifikan#goog_rewarded
4https://www.merdeka.com/uang/buntut-kasus-radioaktif-cesium-137-fda-as-wajibkan-langkah-ini-untuk-udang-dan-rempah-dari-jawa-lampung-477083-mvk.html?page=2
5GIO, “Ekspor Udang Terancam, Pekerja Bisa Terdampak,” Kompas, 7 Oktober 2025, 9.

Bagikan:

Roni Nugraha

Roni Nugraha adalah dosen di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University. Aktif sebagai peneliti Berka Strategika di bidang agroindustri dan agromaritim khususnya terkait seafood safety and quality (teknologi hasil perairan). Minat utamanya meliputi pengembangan produk perikanan yang bernilai tambah, keamanan dan mutu bahan baku hasil perikanan, serta pemanfaatan sumber daya perairan secara berkelanjutan.