Dinamika Sustainability Governance: Menilik Ruang Politik di Persimpangan Regulasi dan Praktik

Tata kelola keberlanjutan (sustainability governance) menjadi kunci dalam isu pembangunan berkelanjutan, bertransformasi melalui inisiatif lintas sektor. Hal ini mengubah cara perusahaan besar dalam rantai nilai global (GVCs) memaknai keberlanjutan, sehingga fokus pada kontribusi bisnis yang selaras dengan regulasi negara, perjanjian internasional, dan peran masyarakat.

Berbagai solusi tata kelola keberlanjutan telah berkembang, mencakup regulasi nasional, perjanjian lingkungan multilateral, dan inisiatif sukarela swasta. Solusi ini mewujud dalam kemitraan publik-swasta dan inisiatif multi-pemangku kepentingan di berbagai sektor (agro-pangan, kehutanan, mineral, kimia, elektronik, dll.). Dengan demikian, tata kelola keberlanjutan merupakan gabungan negosiasi antar-pemerintah, aksi swasta, dan interaksi hibrida antara sektor publik, bisnis, dan masyarakat sipil (Ponte, 2019).

Menurut Scoones (2016), mengelola keberlanjutan membutuhkan eksplorasi ruang politik yang tersedia di persimpangan tiga jenis rezim (mengacu pada Watts dan Peluso, 2014), yaitu:

  1. Rezim kebenaran (regimes of truth), yang mengatur transformasi apa yang terjadi dan ke arah mana… dengan membentuk siapa yang memahami apa dan dalam kerangka apa.
  2. Rezim aturan (regimes of rule), yang mengatur siapa yang mengendalikan apa dan melalui bentuk tata kelola yang mana.
  3. Rezim akumulasi (regimes of accumulation), yang membentuk siapa yang mendapatkan apa dan bagaimana hal itu didistribusikan.

Tata kelola keberlanjutan melibatkan upaya dari berbagai aktor dan institusi untuk mendapatkan otoritas politik dan regulatif atas isu lingkungan. Karena keterbatasan otoritas negara atau lembaga global, muncullah otoritas privat yang mengisi kekosongan regulasi. Meskipun demikian, otoritas privat ini bersifat hibrida, karena seringkali tetap membutuhkan legitimasi dari otoritas publik dan tidak sepenuhnya menggantikan peran negara, menciptakan tumpang tindih antara sektor publik dan privat. Tata kelola hibrida ini menawarkan solusi fleksibel dan alternatif untuk masalah lingkungan melalui kolaborasi berbagai pihak (industri, LSM, dll.). Namun, pendekatan ini juga rentan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi (Ponte & Daugbjerg, 2015)

Pendekatan tata kelola saat ini menjanjikan namun kurang fokus pada implementasi praktis. Meskipun banyak studi membahas kerusakan lingkungan global dan lokal akibat kapitalisme serta perusahaan multinasional, masih minim pendekatan yang menghubungkan dampak makro dengan praktik mikro. Penting untuk secara empiris dan teoretis mengkaji bagaimana kekuatan ekonomi dan sosial global membentuk kebijakan lingkungan di tingkat lokal (Triyanti et al., 2023).

Tata kelola keberlanjutan melampaui regulasi formal, mencakup praktik lapangan dan interaksi aktor lokal merespons tekanan global. Hal ini ini mendorong inovasi dan kolaborasi, namun masih menyisakan ambiguitas terkait akuntabilitas dan distribusi kekuasaan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji bagaimana norma global, pengetahuan, dan dinamika pasar diimplementasikan dalam praktik nyata perusahaan, komunitas, dan institusi lokal demi pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Sumber:

  • Ponte S. 2019. Business, Power and Sustainability in a World of Global Value Chains. London (GB): Zed Books Ltd.
  • Ponte S & Daugbjerg C. 2015. Biofuel sustainability and the formation of transnational hybrid governance. Environmental Politics. 24(1): 96–114. https://doi.org/10.1080/09644016.2014.954776
  • Scoones I. 2016. The politics of sustainability and development. Annual Review of Environment and Resources. 41: 293–319. https://doi.org/10.1146/annurev-environ-110615-090039
  • Triyanti A, Indrawan M, Nurhidayah L, Marfai MA. 2023. Environmental Governance in Indonesia. Cham(CH): Springer Nature. https://doi.org/10.1007/978-3-031-15904-6

Share: